Tokyo, 26 Maret 2025 – Pemerintah Jepang memberikan kompensasi sebesar 240 miliar yen atau sekitar Rp24 triliun kepada seorang pria yang telah menjalani hukuman penjara selama puluhan tahun akibat vonis mati yang keliru. Keputusan ini diambil setelah pengadilan menemukan bahwa pria tersebut tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Kasus ini bermula pada tahun 1970-an ketika pria yang kini berusia lebih dari 80 tahun itu dihukum mati atas tuduhan pembunuhan. Selama beberapa dekade, ia mendekam di penjara dengan ancaman eksekusi yang terus membayangi. Namun, setelah bertahun-tahun upaya hukum dan penyelidikan ulang, pengadilan akhirnya membatalkan vonis tersebut dan menyatakan bahwa pria itu tidak bersalah.
Pengadilan Jepang menyatakan bahwa ada kekeliruan serius dalam proses hukum yang dijalaninya, termasuk bukti yang tidak cukup kuat dan dugaan kesalahan dalam prosedur investigasi. Dalam putusan terbaru, pengadilan juga menekankan pentingnya reformasi sistem peradilan guna mencegah kesalahan serupa terjadi di masa depan.
Kompensasi sebesar Rp24 triliun tersebut mencakup ganti rugi atas penderitaan fisik dan psikologis yang dialami oleh pria itu selama bertahun-tahun dalam tahanan. Keputusan ini menjadi salah satu bentuk kompensasi terbesar yang pernah diberikan dalam sejarah hukum Jepang.
Kasus ini kembali menyoroti perdebatan tentang sistem hukuman mati di Jepang. Banyak kelompok hak asasi manusia menilai bahwa vonis yang salah seperti ini menunjukkan perlunya peninjauan ulang terhadap kebijakan hukuman mati di negara tersebut. Mereka menekankan bahwa risiko eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah harus menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah Jepang dalam mereformasi sistem peradilan pidana.
Sementara itu, pihak keluarga pria tersebut menyatakan rasa lega dan haru atas keputusan ini. Mereka berharap bahwa pengalaman pahit yang dialami dapat menjadi pelajaran bagi sistem hukum agar lebih berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa di masa mendatang.
Pemerintah Jepang sendiri belum memberikan komentar lebih lanjut terkait keputusan ini, namun para pakar hukum menilai bahwa kasus ini bisa menjadi momentum penting untuk meninjau kembali penerapan hukuman mati di negeri sakura tersebut.