Brasília – Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin memanas menjelang pemilu Amerika Serikat 2024, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengambil langkah diplomatik berani dengan merencanakan pertemuan bilateral bersama dua pemimpin dunia Timur: Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Kabar ini diumumkan langsung oleh pihak Istana Planalto dalam konferensi pers terbatas pada Jumat (19/4), menandai niat Brasil untuk lebih aktif memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang dalam kancah politik global yang masih didominasi oleh Barat, terutama Amerika Serikat.
Upaya Perkuat Poros Global Selatan
Langkah Lula bukan sekadar simbolis. Pertemuan dengan Putin dan Xi Jinping ini dijadwalkan berlangsung dalam kerangka kerja sama BRICS+, yang kini mulai digadang-gadang sebagai tandingan dari G7 dalam representasi ekonomi global. Namun, sumber diplomatik menyebut pertemuan ini juga akan digelar dalam format tertutup untuk membahas “stabilitas dunia multipolar” dan reformasi struktur global, termasuk Dewan Keamanan PBB dan sistem keuangan internasional.
“Brasil ingin memastikan bahwa suara Selatan Global tidak lagi hanya menjadi penonton dalam percaturan besar dunia,” ujar Menteri Luar Negeri Brasil, Mauro Vieira.
Pertemuan ini direncanakan berlangsung di sela-sela pertemuan tingkat tinggi BRICS yang akan digelar di Kazan, Rusia, pada pertengahan tahun ini.
Sikap Kritis terhadap Trump dan Hegemoni AS
Manuver politik ini dianggap sebagai pesan implisit Lula terhadap kemungkinan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Dalam beberapa pernyataan sebelumnya, Lula sempat mengkritik pendekatan sepihak dan konfrontatif yang dijalankan Trump selama menjabat presiden, terutama terkait perubahan iklim, perdagangan global, dan krisis pandemi COVID-19.
“Lula tak ingin Brasil menjadi satelit dari kekuatan besar manapun, termasuk AS. Ia ingin menunjukkan bahwa Brasil punya pijakan diplomatik yang mandiri,” kata Felipe Loureiro, profesor hubungan internasional dari Universitas São Paulo.
Para pengamat meyakini bahwa pertemuan dengan Putin dan Xi juga menyiratkan bahwa Brasil siap menjalin kemitraan strategis lintas blok, bahkan jika itu berarti harus bersinggungan dengan agenda luar negeri Washington.
Diplomasi Ekonomi dan Investasi
Selain isu geopolitik, pertemuan ini juga akan difokuskan pada kerja sama ekonomi konkret. Tiongkok saat ini adalah mitra dagang terbesar Brasil, sementara Rusia merupakan salah satu pemasok pupuk utama bagi sektor agrikultur Negeri Samba. Lula diperkirakan akan menandatangani sejumlah nota kesepahaman strategis terkait investasi teknologi hijau, digitalisasi industri, hingga diversifikasi energi.
Lula, yang pernah menjabat presiden pada 2003–2010 dan kembali terpilih pada 2022, dikenal sebagai politisi kawakan yang lihai dalam diplomasi multilateral. Pada masa lalu, ia berhasil membawa Brasil menjadi salah satu motor utama dari pembentukan BRICS dan Forum G20.
Isu Sensitif: Perang Ukraina dan Hak Asasi
Meski pertemuan ini dilihat sebagai langkah strategis, tetap ada pertanyaan soal bagaimana Lula akan bersikap terkait isu sensitif seperti invasi Rusia ke Ukraina. Brasil sebelumnya memilih jalur netral di PBB, menolak sanksi terhadap Rusia namun tetap mengutuk kekerasan bersenjata.
Dari sisi Tiongkok, Lula juga dihadapkan pada tekanan internal dan eksternal soal isu hak asasi manusia di Xinjiang dan Hong Kong. Namun pemerintahannya menegaskan bahwa diplomasi Brasil tetap berlandaskan prinsip kedaulatan nasional dan dialog, bukan tekanan atau sanksi.