Ketegangan di Timur Tengah kembali meningkat drastis setelah militer Israel melancarkan serangan balasan terhadap sasaran strategis di wilayah Yaman yang dikuasai kelompok Houthi. Target utama adalah bandara internasional di Sana’a—ibukota de facto kelompok pemberontak tersebut—yang dituding digunakan sebagai pangkalan peluncuran drone dan rudal ke arah wilayah Israel.
Serangan ini disebut sebagai tanggapan atas serangkaian tembakan rudal jarak jauh dan pesawat nirawak yang diluncurkan Houthi beberapa hari sebelumnya, dengan tujuan utama merusak infrastruktur vital Israel dan menebar ancaman ke kawasan Laut Merah.
Awal Ketegangan: Houthi dan Dukungan untuk Palestina
Kelompok Houthi, yang menguasai sebagian besar wilayah utara Yaman sejak 2015 dan mendapat dukungan dari Iran, dalam beberapa pekan terakhir menyatakan solidaritas terbuka terhadap warga Palestina dan perlawanan terhadap Israel. Melalui sejumlah pernyataan publik, mereka menyebut serangan ke Israel sebagai bagian dari “tanggung jawab moral dan keagamaan untuk membela Gaza.”
Dalam tindakan nyata, kelompok ini telah meluncurkan rudal balistik dan drone bermuatan bahan peledak ke arah Israel, yang sebagian besar berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara atau jatuh di wilayah terbuka.
Namun bagi Tel Aviv, ancaman itu tetap signifikan. “Setiap agresi terhadap tanah kami akan dijawab secara tegas,” ujar seorang juru bicara militer Israel dalam konferensi pers yang digelar beberapa jam setelah serangan ke Sana’a.
Bandara Sipil, Target Militer?
Serangan Israel terhadap bandara utama di Sana’a memicu kontroversi. Meskipun Israel menyatakan bandara tersebut telah diubah fungsi menjadi basis militer dan pusat logistik drone Houthi, banyak pihak mempertanyakan legalitas dan dampaknya terhadap warga sipil.
Organisasi kemanusiaan internasional menyuarakan keprihatinan, mengingat bandara tersebut juga menjadi jalur masuk bantuan medis dan pangan bagi penduduk Yaman yang sudah terjebak dalam krisis kemanusiaan selama hampir satu dekade.
“Menyerang infrastruktur sipil utama, terlepas dari klaim penggunaannya oleh pihak militan, berisiko melanggar hukum perang dan memperburuk penderitaan warga sipil,” ujar Human Rights Watch dalam pernyataan tertulisnya.
Eskalasi Regional yang Tak Lagi Terbendung?
Pertukaran serangan antara Israel dan Houthi menandai babak baru dalam kompleksitas konflik regional. Sebelumnya, Israel telah disibukkan oleh ketegangan di beberapa front: pertempuran di Gaza, bentrokan sporadis di perbatasan Lebanon dengan Hizbullah, dan meningkatnya tekanan diplomatik internasional atas operasi militernya.
Kini, dengan keterlibatan langsung militer Israel terhadap target di Yaman, konflik meluas ke kawasan selatan Semenanjung Arab, memperkuat kekhawatiran akan terjadinya perang regional yang melibatkan sejumlah aktor non-negara dan negara besar.
Iran dan Poros Perlawanan
Iran, sebagai pendukung utama Houthi, belum memberikan pernyataan resmi atas serangan Israel terhadap Yaman. Namun pengamat Timur Tengah menilai bahwa keterlibatan langsung Israel di wilayah-wilayah yang dianggap bagian dari “poros perlawanan” (Hamas, Hizbullah, Houthi, dan milisi Syiah Irak) akan memperkuat narasi Iran bahwa Israel sedang memaksakan dominasi militernya terhadap dunia Muslim.
“Satu langkah agresi terhadap salah satu pihak, bisa memicu respons dari yang lain. Ini semacam jalinan tak terlihat yang jika ditarik satu ujungnya, ujung lain akan berguncang,” kata seorang analis politik kawasan dari Universitas Beirut.
Dunia Menyaksikan, Tapi Diam?
Respons internasional atas serangan ini masih terbagi. Beberapa negara Barat menyatakan “hak Israel untuk membela diri,” namun menyerukan agar semua pihak menahan diri dari tindakan yang bisa memperparah konflik.
Sementara itu, Liga Arab mengecam serangan terhadap wilayah Yaman dan mendesak PBB untuk segera turun tangan mencegah perluasan konflik. Di lapangan, penderitaan warga sipil Yaman terus berlangsung: blokade, kelangkaan pangan, sistem kesehatan yang runtuh, kini ditambah kekhawatiran akan pemboman lanjutan.