Beijing, 2025 – Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas setelah pemerintahan Washington resmi menerapkan tarif impor baru sebesar 245 persen terhadap beberapa produk strategis asal Negeri Tirai Bambu, termasuk kendaraan listrik, panel surya, dan komponen semikonduktor. Namun, alih-alih gentar, pemerintah China justru memberi respons keras yang menegaskan kesiapan mereka menghadapi tekanan tersebut.
Langkah yang diumumkan oleh Presiden AS itu disebut sebagai upaya untuk “melindungi industri domestik dari praktik perdagangan tidak adil”. Di sisi lain, China menyebut kebijakan ini sebagai tindakan proteksionisme yang “membahayakan stabilitas ekonomi global”.
“China tidak akan tinggal diam. Kami memiliki instrumen dan strategi untuk melindungi kepentingan nasional kami,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China dalam konferensi pers di Beijing.
Bukan Ancaman Baru
Ini bukan kali pertama kedua negara bersitegang dalam urusan perdagangan. Sejak era Presiden Trump, perang dagang antara AS dan China telah menciptakan iklim ketidakpastian yang berdampak hingga ke pasar global. Namun, tarif sebesar 245 persen ini adalah yang tertinggi dalam sejarah hubungan dagang kedua negara—dan China tampaknya sudah siap menghadapinya.
“Pasar kami luas, rantai pasokan kami fleksibel. Kami akan terus bekerja sama dengan negara-negara yang menghargai prinsip perdagangan bebas dan saling menguntungkan,” imbuh pejabat senior dari National Development and Reform Commission (NDRC).
Diversifikasi dan Ketahanan
China belakangan memang giat memperluas jaringan dagangnya, terutama ke Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika. Upaya ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan Eropa. Selain itu, Beijing terus memperkuat program substitusi impor dan inovasi teknologi dalam negeri.
Di sektor kendaraan listrik, misalnya, produsen raksasa seperti BYD dan NIO mulai mengalihkan ekspor mereka ke Amerika Latin dan Timur Tengah, sekaligus memperluas investasi di Asia Tenggara untuk menjangkau pasar regional dengan lebih efektif.
Respons Dunia Internasional
Kebijakan tarif AS ini juga menuai reaksi dari komunitas internasional. Beberapa negara menyuarakan kekhawatiran bahwa tindakan sepihak semacam ini bisa merusak semangat kerja sama multilateral dan memperburuk tekanan inflasi global.
“Perang dagang berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah dialog dan mekanisme penyelesaian yang adil,” ujar seorang analis ekonomi dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Jalan Panjang yang Masih Kabur
Meskipun China menampilkan wajah tanpa gentar, dampak jangka panjang dari kebijakan ini tetap belum dapat diprediksi sepenuhnya. Yang jelas, baik AS maupun China kini berada di persimpangan penting yang akan menentukan arah hubungan ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan.
Bagi dunia, ketegangan ini menjadi sinyal kuat bahwa stabilitas dagang internasional memerlukan komitmen yang lebih besar terhadap aturan main yang adil—dan menjauh dari kepentingan sempit politik domestik.