Jakarta – Dalam upaya meredam konflik dan kekerasan remaja yang kerap mencoreng wajah Jakarta, sosok Pramono hadir membawa pendekatan yang berbeda: bukan dengan kekerasan balik, melainkan dengan lantunan salawat dan kekuatan kebersamaan. Gagasannya bertajuk “Manggarai Bersalawat” menjadi angin segar dalam penanganan tawuran antarwarga, khususnya di wilayah Manggarai yang dikenal rawan bentrokan.
Pramono, tokoh masyarakat sekaligus penggerak pemuda di Manggarai, menyadari bahwa tawuran bukan sekadar soal anak muda yang salah pergaulan. “Ada yang lebih dalam,” katanya saat ditemui di sela-sela persiapan kegiatan. “Anak-anak kita kehilangan ruang, kehilangan arah, dan kita harus hadir bukan cuma sebagai penegak aturan, tapi sebagai keluarga.”
Melalui “Manggarai Bersalawat”, Pramono mengajak warga, pemuda, tokoh agama, dan aparat keamanan duduk bersama dalam satu majelis doa. Bukan hanya umat Islam yang diundang, tapi seluruh unsur masyarakat tanpa memandang latar belakang. Kegiatan ini berlangsung sederhana namun penuh makna: pembacaan salawat, tausiyah kebangsaan, dan refleksi bersama tentang damai dan masa depan Manggarai.
“Salawat bukan hanya ritual,” ujar Pramono. “Ini cara kami menenangkan jiwa-jiwa yang resah, mengajak anak-anak kembali ke rumah, bukan ke jalanan. Di saat yang lain berteriak, kami memilih bersalawat.”
Upaya ini pun mendapat respons positif dari warga. Rini (45), seorang ibu rumah tangga yang hadir dalam kegiatan tersebut, mengaku terharu melihat pemuda-pemuda yang biasanya terlibat tawuran, kini duduk khidmat mendengarkan ceramah dan ikut melantunkan salawat.
“Kita ini sudah capek lihat anak-anak kita luka-luka karena saling serang. Sekarang mereka malah saling senyum,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Pihak kepolisian setempat turut mengapresiasi inisiatif ini. Menurut Kapolsek Tebet, pendekatan seperti ini bisa menjadi pelengkap dari upaya hukum yang selama ini diterapkan. “Pencegahan itu lebih baik dari penindakan. Kalau mereka sudah punya kesadaran dari dalam, tugas kami akan jauh lebih mudah.”
Lebih dari sekadar acara keagamaan, “Manggarai Bersalawat” perlahan tumbuh menjadi simbol rekonsiliasi. Dalam beberapa minggu terakhir, intensitas tawuran menurun drastis. Beberapa kelompok remaja bahkan sudah membentuk tim olahraga bersama sebagai tindak lanjut dari semangat kebersamaan yang dibangun Pramono.
Kini, gagasan ini mulai dilirik oleh kelurahan-kelurahan lain yang menghadapi masalah serupa. Pramono sendiri berharap kegiatan ini bisa terus berlangsung secara rutin dan melahirkan lebih banyak agen perdamaian dari kalangan muda.
“Kita tidak sedang mengubah dunia dalam semalam,” ujarnya. “Tapi kalau malam ini satu anak tidak turun ke jalan karena dia ikut bersalawat, itu sudah cukup untuk membuat dunia sedikit lebih damai.”