Jakarta — Di gedung bercat putih di Jalan Medan Merdeka Barat, Mahkamah Konstitusi kembali menjadi panggung bagi debat konstitusional yang tak hanya menyangkut hukum, tetapi juga arah demokrasi Indonesia. Kali ini, gugatan yang diajukan bukan oleh politisi atau aktivis, tetapi oleh gabungan masyarakat sipil dan akademisi yang menyoroti sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Permohonan uji materi terhadap UU ini bukan sekadar persoalan teks hukum. Di balik lembar-lembar dokumen itu, tersimpan pertanyaan fundamental tentang hubungan sipil-militer, arah reformasi pertahanan, dan batas antara peran tentara dalam keamanan negara dan kehidupan sipil.
Inti Gugatan: Soal Usia dan Jabatan Sipil
Salah satu pasal yang paling disorot adalah ketentuan dalam UU TNI yang memperpanjang masa dinas aktif bagi perwira tinggi tertentu. Pasal tersebut membuka ruang bagi prajurit TNI untuk terus berdinas hingga usia 60 tahun atau bahkan lebih, selama yang bersangkutan masih dibutuhkan negara. Pemohon menilai ketentuan ini rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik, terutama ketika dikaitkan dengan pengisian jabatan sipil strategis oleh prajurit aktif.
“Ini bukan sekadar soal umur pensiun. Ini soal potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan membiarkan militer terus bercokol di ruang-ruang sipil,” ujar salah satu kuasa hukum pemohon dalam sidang di MK.
Gugatan juga menyasar Pasal 47 dan Pasal 55 UU TNI, yang dinilai membuka celah bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer. Dalam dokumen permohonan, pemohon menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis dan semangat reformasi TNI pasca-1998.
Refleksi atas Reformasi Militer
Dua dekade setelah reformasi, peran militer dalam kehidupan sipil masih menjadi perdebatan panjang. Salah satu hasil penting reformasi adalah pemisahan fungsi militer dan kepolisian serta dikeluarkannya TNI dari dunia politik praktis dan jabatan sipil struktural. Namun, dalam praktiknya, sejumlah perwira aktif diketahui masih menduduki posisi di kementerian, lembaga negara, bahkan di BUMN.
Gugatan ini ingin mengembalikan garis tegas antara peran militer dan sipil, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan berbagai ketentuan hukum reformasi. Pemohon menilai bahwa UU TNI saat ini terlalu lentur dalam mengatur peran militer, sehingga membuka ruang bagi praktik dwifungsi bergaya baru.
“Yang kita khawatirkan adalah normalisasi militerisasi sipil. Jika tentara bisa mengisi jabatan sipil tanpa harus purna tugas, maka prinsip netralitas dan profesionalitas TNI terancam,” tegas salah satu akademisi yang menjadi pemohon.
Respons Pemerintah dan Konteks Politik
Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa ketentuan yang digugat tidak serta-merta bertentangan dengan konstitusi. Perpanjangan masa dinas atau pengisian jabatan sipil oleh perwira aktif dinilai sebagai bentuk fleksibilitas untuk menjawab kebutuhan strategis negara.
Namun pengamat menilai, dalam konteks politik Indonesia saat ini, fleksibilitas tersebut justru menjadi lubang dalam pagar reformasi. Apalagi ketika jabatan-jabatan sipil yang dimaksud mencakup posisi strategis seperti kepala badan intelijen, kepala lembaga kementerian, atau komisaris utama di BUMN.
Menanti Putusan, Menakar Masa Depan
Gugatan ini tak hanya soal pasal dan ayat. Ia adalah cermin dari pertarungan nilai antara demokrasi dan kekuasaan, antara supremasi sipil dan kekuatan militer. Putusan MK dalam perkara ini akan menjadi penentu arah: apakah Indonesia tetap setia pada semangat reformasi 1998, atau perlahan mundur ke masa ketika tentara menjadi kekuatan dominan di panggung sipil.
Mahkamah Konstitusi kini memegang peran penting dalam menentukan garis batas itu. Tak hanya sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai penjaga semangat konstitusi yang menempatkan warga sipil sebagai pengendali utama roda kekuasaan.