Konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas kembali memasuki babak baru dengan pernyataan yang menggetarkan publik internasional. Seorang menteri senior dalam kabinet Israel menyatakan bahwa “Gaza akan hancur total” dan menegaskan bahwa “tak akan ada lagi Hamas” di wilayah itu setelah operasi militer berakhir. Ucapan ini menjadi sorotan, menimbulkan respons beragam dari dunia internasional, dan mempertegas eskalasi yang kian brutal di wilayah yang telah lama diliputi penderitaan.
Retorika yang Menggambarkan Strategi
Pernyataan itu diucapkan dalam konferensi pers di Tel Aviv, disampaikan oleh Menteri Pertahanan Israel yang menyebut bahwa “pembersihan total terhadap infrastruktur militer dan politik Hamas” menjadi tujuan utama dari operasi saat ini. Ia menegaskan bahwa tidak hanya target militer yang akan disapu, tetapi juga “seluruh jaringan pendukung, terowongan, pusat komando, bahkan simbol-simbol kekuasaan” yang digunakan oleh kelompok tersebut.
Lebih lanjut, ia menggambarkan operasi ini sebagai “perang eksistensial”, menempatkan Hamas bukan hanya sebagai lawan militer, tetapi sebagai ancaman mutlak terhadap keamanan nasional Israel. “Gaza tidak akan lagi menjadi tempat yang bisa digunakan untuk menyerang kami. Hamas tidak akan punya tempat untuk bangkit kembali,” ujarnya.
Gaza: Antara Retorika dan Realita
Namun, pernyataan itu langsung mendapat kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pengamat politik internasional. Banyak yang melihat retorika semacam itu sebagai alarm akan risiko penghancuran sipil secara luas. Di Gaza, yang penduduknya lebih dari dua juta jiwa, mayoritas adalah warga sipil yang hidup di tengah keterbatasan akses pangan, listrik, dan air bersih. Operasi skala besar, terlebih yang diklaim “total,” hampir pasti menyeret warga sipil dalam kehancuran.
Lembaga kemanusiaan internasional mengingatkan bahwa pembalasan tak terbatas terhadap suatu kelompok bersenjata bisa menjurus pada pelanggaran hukum humaniter internasional. Amnesti Internasional dan Human Rights Watch meminta semua pihak, termasuk Israel, untuk “menahan diri dari tindakan yang bisa digolongkan sebagai hukuman kolektif.”
Dunia Terbelah
Pernyataan keras dari menteri Israel ini juga memecah respons dunia. Sekutu tradisional Israel seperti Amerika Serikat menyatakan dukungan atas hak Israel membela diri, tetapi dalam pernyataan terbaru Gedung Putih, ditegaskan bahwa “perlindungan warga sipil harus menjadi prioritas.”
Sebaliknya, negara-negara Arab dan sejumlah kekuatan global lain, termasuk Turki dan Afrika Selatan, mengecam retorika Israel dan menyebutnya sebagai ancaman nyata terhadap stabilitas kawasan dan kelangsungan hidup rakyat Gaza. Presiden Turki menyebut retorika semacam itu sebagai “bahasa genosida yang tak bisa dibiarkan.” Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyerukan gencatan senjata dan menyebut bahwa “tindakan penghancuran total bukan solusi, tetapi jalan menuju penderitaan tanpa akhir.”
Arah Perang yang Semakin Suram
Pernyataan bahwa Gaza akan dihancurkan “total” dan Hamas tidak akan “ada lagi” membawa pertanyaan besar: apakah benar strategi militer semata bisa menghapus sebuah ideologi perlawanan yang telah berakar selama puluhan tahun? Para analis militer menilai, meskipun kekuatan tempur Hamas dapat dilumpuhkan secara signifikan, penghancuran fisik wilayah dan penderitaan warga sipil bisa justru menyuburkan kebencian yang memunculkan generasi baru perlawanan.
“Gaza bukan hanya soal bangunan atau terowongan. Ini adalah medan simbolik dan politik. Menghancurkan fisik tidak otomatis menghapus semangat,” ujar seorang analis Timur Tengah dari sebuah lembaga think tank di London.