Yogyakarta—Dari sebuah ruang sidang administrasi di Jakarta, suara gugatan yang semula hanya riak di media sosial berubah menjadi gelombang yang menggoyang salah satu institusi pendidikan tertua di Indonesia: Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak tanggung-tanggung, gugatan tersebut ditujukan kepada Rektor UGM, Dekan Fakultas Kehutanan, hingga pejabat akademik lainnya. Inti persoalan: keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo.
Bagi UGM, ini bukan sekadar perkara dokumen. Ini menyentuh jantung identitasnya sebagai kampus rakyat, tempat integritas akademik dijunjung tinggi, dan tempat Presiden ketujuh RI menghabiskan masa kuliahnya lebih dari empat dekade silam.
Awal Mula Gugatan
Gugatan ini diajukan oleh seseorang bernama Bambang Tri Mulyono, yang sebelumnya juga dikenal sebagai penulis buku kontroversial yang mempertanyakan keabsahan dokumen kepresidenan. Dalam dokumen gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), ia meminta pengadilan memeriksa dan memutus apakah ijazah Jokowi yang dikeluarkan UGM pada 1985 sah secara hukum administrasi negara.
Yang membuat perkara ini mencuri perhatian adalah bukan hanya subjeknya—yakni Presiden Republik Indonesia—tetapi juga objeknya: universitas besar yang selama ini dipandang sebagai pilar moral dan intelektual bangsa.
Sikap UGM: Tenang dan Tegak
Pihak UGM tidak tinggal diam. Melalui sejumlah pernyataan resmi, UGM menegaskan bahwa ijazah Presiden Jokowi adalah sah, sesuai prosedur akademik yang berlaku saat itu. Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, dalam beberapa kesempatan menekankan bahwa pihaknya akan mengikuti proses hukum dengan terbuka dan menghormati supremasi hukum.
“Kami menghargai proses hukum. Namun kami juga meyakini bahwa semua prosedur akademik telah dilalui secara sah dan sesuai peraturan yang berlaku,” ujar salah satu pejabat UGM yang enggan disebutkan namanya, menekankan bahwa UGM siap memberikan bukti otentik jika diminta pengadilan.
Fakultas Kehutanan, tempat Presiden Jokowi menempuh studi sarjananya, juga menyatakan siap menjawab segala pertanyaan hukum yang diajukan. Meski suasana kampus berjalan seperti biasa, percakapan tentang gugatan ini tak bisa dipungkiri muncul di ruang-ruang dosen dan forum mahasiswa.
Isu Lama, Format Baru
Perdebatan soal keaslian ijazah Jokowi bukan isu baru. Sejak masa kampanye Pilpres 2014, wacana ini beberapa kali mencuat, sering kali tanpa dasar yang jelas. Namun gugatan hukum resmi yang kini bergulir di pengadilan memberi dimensi baru—lebih formal, lebih sistemik, dan menuntut respons institusional.
Sejumlah pengamat hukum tata negara menilai gugatan ini akan menghadapi tantangan besar, mengingat presiden telah melewati proses verifikasi berlapis saat pendaftaran capres oleh KPU, termasuk autentikasi dokumen pendidikan.
“Ini bukan perkara sederhana. Jika pengadilan sampai menilai sah atau tidaknya ijazah, itu bisa membuka preseden hukum yang rumit bagi semua lembaga pendidikan tinggi,” ujar Dr. Zainal Abidin, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Andalas.
Taruhannya: Bukan Sekadar Nama Baik
Bagi UGM, taruhannya jauh lebih besar daripada sekadar membela alumninya yang kini menjabat kepala negara. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan tinggi, validitas dokumen akademik, dan integritas proses kelulusan.
“UGM tidak akan membela seseorang karena statusnya. Tapi kami akan membela prinsip bahwa setiap ijazah yang kami keluarkan, termasuk yang diterima Pak Jokowi, adalah hasil proses akademik yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujar seorang dosen senior Fakultas Kehutanan.
Di tengah hiruk-pikuk gugatan ini, muncul satu hal yang terasa ironis: kampus yang mengajarkan etika, ilmu, dan moralitas kini justru harus membuktikan bahwa nilai-nilai itu masih hidup dalam arsip dan sistemnya.
Penutup: Menjaga Marwah Akademik
Proses hukum akan berjalan, dan publik berhak mengawal dengan kritis. Namun dalam riuh debat antara tafsir hukum, motif politik, dan semangat transparansi, satu hal tetap penting dijaga: marwah akademik.
Apakah gugatan ini akan berujung pada penegasan kembali legitimasi Presiden dan kampusnya, atau justru membuka ruang skeptisisme terhadap birokrasi akademik—waktu yang akan menjawab. Tapi bagi UGM, inilah momen ujian, bukan hanya bagi nama baik, tetapi untuk sejarah yang selama ini dibangun di atas fondasi ilmu dan kepercayaan publik.