Singapura – Pemerintah Singapura mewajibkan sejumlah pengusaha papan atas, termasuk taipan lokal, untuk melapor ke otoritas keamanan setelah diketahui menduduki jabatan strategis di organisasi yang berafiliasi dengan Pemerintah Tiongkok. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya negara kota tersebut menjaga kedaulatan politik dan mengantisipasi pengaruh asing dalam urusan domestik.
Langkah tegas ini diumumkan oleh Ministry of Home Affairs (MHA) pada Jumat (4/4), menyusul pengesahan aturan baru dalam kerangka Foreign Interference (Countermeasures) Act (FICA) yang mulai diberlakukan tahun lalu.
Jabatan di Organisasi Luar Negeri Jadi Sorotan
Menurut MHA, sejumlah warga negara Singapura yang memiliki peran kepemimpinan di organisasi luar negeri, termasuk yang memiliki keterkaitan dengan United Front Work Department—organisasi Partai Komunis Tiongkok yang fokus pada pengaruh luar negeri—telah diklasifikasikan sebagai pihak yang wajib melapor.
“Ini bukan langkah untuk mencurigai loyalitas, tetapi untuk menjamin transparansi dan mencegah potensi campur tangan asing dalam urusan negara,” ujar juru bicara Kementerian.
Kewajiban ini mencakup pelaporan aktivitas, sumber dana, serta komunikasi yang menyangkut kepentingan luar negeri. Mereka juga harus mengajukan pemberitahuan jika hendak membuat pernyataan publik terkait isu dalam negeri.
Sosok Taipan Masuk Radar Pemerintah
Salah satu nama yang mencuat dalam kebijakan ini adalah taipan properti dan filantropis terkemuka, yang disebut-sebut menduduki posisi kehormatan di sebuah lembaga konsultatif Tiongkok. Meski belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah mengenai identitasnya, laporan media setempat menyebut pengusaha tersebut aktif dalam kegiatan komunitas Tionghoa lintas negara.
Kendati demikian, tidak ada indikasi bahwa individu terkait melakukan pelanggaran. MHA menekankan bahwa kebijakan ini bersifat preventif, bukan represif.
Langkah Pencegahan, Bukan Kriminalisasi
FICA sendiri mendapat perhatian luas sejak diperkenalkan, lantaran memberikan wewenang luas kepada pemerintah untuk menangkal pengaruh asing, termasuk membatasi pendanaan politik dari luar negeri dan membubarkan entitas yang dianggap menjadi alat negara asing.
“Transparansi adalah kunci. Warga yang menjabat posisi di luar negeri tetap bisa menjalankan fungsinya, tetapi harus jelas garis pemisah antara kepentingan nasional dan pengaruh luar,” kata Profesor Eugene Tan, pakar hukum dari Singapore Management University.
Respons Pengusaha dan Masyarakat
Sejumlah pengusaha yang terdampak menyatakan akan patuh pada aturan tersebut. Dalam pernyataan singkat, salah satu tokoh bisnis mengatakan bahwa dirinya “selalu menjunjung nilai-nilai nasional dan mendukung segala bentuk kebijakan negara demi menjaga stabilitas.”
Sementara itu, reaksi masyarakat beragam. Ada yang memuji langkah ini sebagai bentuk ketegasan Singapura dalam menjaga netralitas dan independensi politik, namun tak sedikit pula yang menyuarakan kekhawatiran bahwa aturan ini bisa menghambat diplomasi masyarakat sipil.
Penutup
Langkah terbaru Singapura ini mempertegas posisi negara tersebut sebagai salah satu benteng pertahanan politik yang tangguh di tengah derasnya arus pengaruh asing di kawasan Asia. Dengan pendekatan berbasis transparansi dan pelaporan, pemerintah berharap dapat menjaga keseimbangan antara keterbukaan ekonomi dan kedaulatan nasional.
Otoritas juga menegaskan bahwa pengawasan ini akan terus ditingkatkan seiring dinamika geopolitik yang berkembang pesat, sembari menegakkan prinsip bahwa loyalitas terhadap negara tak bisa dinegosiasikan—terlepas dari jaringan dan jabatan lintas batas yang dimiliki individu.