Khartoum – Ketegangan di Sudan kembali meningkat setelah pasukan militer negara itu berhasil menguasai Istana Presiden di ibu kota, Khartoum. Perebutan istana ini terjadi di tengah konflik bersenjata yang telah berlangsung selama berbulan-bulan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Menurut laporan terbaru, pasukan militer Sudan berhasil merebut kendali penuh atas istana setelah pertempuran sengit dengan kelompok RSF yang sebelumnya menduduki area tersebut. Sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa bentrokan berlangsung selama beberapa jam, dengan suara tembakan dan ledakan terdengar di berbagai sudut kota.
Latar Belakang Konflik
Sudan telah berada dalam krisis sejak konflik pecah pada April 2023 antara SAF yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan RSF yang dikomandoi oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang dikenal sebagai Hemedti. Awalnya, kedua kelompok ini merupakan sekutu dalam pemerintahan militer pasca-kudeta terhadap pemerintahan sipil pada 2021. Namun, perbedaan kepentingan dalam proses transisi politik dan persaingan kekuasaan menyebabkan pecahnya pertempuran antara mereka.
RSF, yang dikenal sebagai pasukan paramiliter kuat, sempat menguasai beberapa wilayah strategis di Khartoum, termasuk Istana Presiden. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, SAF meningkatkan serangan udara dan darat untuk merebut kembali posisi-posisi penting di ibu kota.
Situasi Terkini di Khartoum
Sejumlah saksi mata melaporkan bahwa pertempuran di sekitar istana sangat intens, dengan penggunaan artileri berat dan serangan udara yang dilancarkan oleh SAF. Banyak warga sipil yang terjebak di tengah pertempuran tanpa akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan layanan medis.
Seorang warga Khartoum yang berhasil mengungsi ke daerah yang lebih aman mengatakan bahwa situasi di ibu kota semakin memburuk.
“Kami tidak tahu harus pergi ke mana. Suara tembakan terus terdengar, dan tidak ada jaminan keselamatan bagi siapa pun,” ujar seorang penduduk yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, organisasi kemanusiaan menyatakan keprihatinan terhadap dampak konflik ini terhadap warga sipil. Banyak rumah sakit yang tidak berfungsi akibat serangan dan kurangnya pasokan medis. Selain itu, ribuan warga dilaporkan telah mengungsi ke wilayah perbatasan atau negara tetangga untuk mencari perlindungan.
Reaksi Internasional
Komunitas internasional, termasuk PBB dan Uni Afrika, terus menyerukan penghentian pertempuran dan penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya juga telah mengutuk eskalasi kekerasan dan mendesak kedua pihak untuk segera menghentikan pertempuran.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan sanksi tambahan terhadap individu dan kelompok yang dianggap bertanggung jawab atas berlanjutnya konflik.
“Kami mendesak semua pihak untuk segera menghentikan permusuhan dan kembali ke meja perundingan. Krisis ini hanya akan memperburuk penderitaan rakyat Sudan,” ujar pejabat AS dalam sebuah pernyataan resmi.
Masa Depan Sudan di Tengah Krisis
Penguasaan kembali Istana Presiden oleh militer Sudan menandai babak baru dalam konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Meski SAF berhasil merebut kembali simbol kekuasaan negara, masih belum jelas apakah ini akan menjadi titik balik dalam konflik atau justru memperpanjang ketegangan antara kedua pihak.
Dengan situasi yang terus memburuk dan korban jiwa yang terus bertambah, masa depan Sudan semakin tidak pasti. Upaya diplomasi dan mediasi internasional menjadi kunci utama dalam mencari solusi untuk mengakhiri perang saudara yang telah menghancurkan negara tersebut.